Total Tayangan Halaman

Kamis, 12 April 2012

Peer Coaching, Scaffolding dan Lev Vygotsky




Lev Vygostsky lahir di Rusia pada tahun 1896. Ia terlahir dari keluarga menengah di Rusia yang mendorongnya untuk belajar. Setelah lulus kuliah, Lev kemudian mengajar literatur di sebuah sekolah SMP. Minatnya pada pendidikan membawanya untuk mengamati tingkah laku dan cara belajar siswanya. Ia kemudian mendapati bahwa ada anak-anak yang harus dibantu untuk mencapai suatu pengertian, ada anak-anak yang membutuhkan sedikit bantuan untuk mencapai tujuan, dan ada anak-anak yang tidak memerlukan bantuan sama sekali. Berdasarkan temuannya inilah Vygotsky kemudian mempelajari lebih dalam tentang teori-teori pendidikan yang diungkapkan oleh Sigmud Freud, Jean Piaget dan Maria Montessori. Dari ketiganya inilah Vygostky kemudian mendalami ilmu psikologi, utamanya psikologi pendidikan.


Teorinya yang terkenal adalah tentang kognitif sosial. Vygotsky memang percaya bahwa selain pengalaman pribadi dan kemampuan kognitifyang ada pada tiap anak memang menjadi dasar utama bagi perkembangan dan kemampuan dirinya kelak. Namun ia yakin pula, bahwa pengalaman sosialisasi, dukungan orang-orang terdekat, memiliki persentase yang seimbang pula dengan kemampuan kognitif dalam perkembangan belajar seorang anak. Bahkan, presentasi kebutuhan akan kognisi sosial bisa lebih besar pada beberapa anak.
Vygotsky juga berpijak pada teori yang dikembangkan oleh Maria Montessori tentang perkembangan kejiwaan dan perkembangan anak berbeda satu dengan yang lainnya. Berdasarkan teori Montessori, Vygotsky menyimpulkan bahwa masing-masing anak tidak memiliki kemampuan yang sama terhadap suatu perspektif, sehingga peran guru adalah melihat anak mana yang memiliki kemampuan menangkap lebih rendah dalam suatu konsep ketimbang anak lainnya. Vygotsky mengungkapkan bahwa kemampuan menangkap suatu konsep lebih lama dibanding yang lain tidak menunjukkan tingkat intelligensianya. Vygotsky sering melihat bahwa berbagai inner factor dapat mempengaruhi tingkat kemampuan anak, seperti pengalaman sosialnya di rumah, nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dan lingkungannya. Anak juga belajar dari temannya. Dengan tingkat penilaian yang berbeda, anak memiliki kemampuan menyaring informasi yang berbeda-beda. Kemudian, secara normatif, anak akan dapat menilai siapa di antara temannya yang memiliki kemampuan lebih dibanding dirinya dalam beberapa hal.
Seperti Piaget, Vygotsky percaya bahwa kemampuan belajar terbesar anak adalah lewat bermain. Pada usia yang lebih matang, kemampuan belajar didapat melalui pengalaman, apa yang dilihat, didengar dan dilakukannya. Melalui pengalaman, berdiskusi dengan teman, bercanda dan saling percaya satu dengan yang lain akan menimbulkan kepekaan dalam berbahasa, dalam mengerti tentang suatu konsep. Sering, dia antara sesama muridnya, Vygotsky melihat ada kekuatan sari mengoreksi dan menyakinkan satu dengan yang lain.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan inilah kemudian timbul teori yang disebut dengan "Peer Coaching". Dalam Peer Coaching, Vygotsky menilai bahwa apabila seorang anak mengalami kesulitan dalam belajar, maka orang pertama yang akan ia temui adalah teman dekatnya, bukan gurunya, atau orang tuanya. Hal ini lebih karena seorang anak akan mencari orang yang sebaya lebih karena self-esteem nya, keakuannya.

Lebih jauh Vygotsky mengasumsikan bahwa ibarat seorang tukang bangunan yang akan mencat bagian atas rumah, maka ia akan membutuhkan scaffold, tangga untuk mencapai bagian rumah paling atas yang hendak dicatnya. Demikian pula dengan seorang anak. Pada anak yang mengalami kesulitan dalam memahami suatu konsep, maka ia akan memerlukan bantuan, bantuan ini utamanya didapat dari teman sebayanya, dan kemudian gurunya. Terkadang, dengan pengalaman yang beraneka ragam, sulit bagi anak mempercayai kata-kata gurunya. Di sinilah peran teman, sahabat, sebagai pemandu baginya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Peran guru adalah, berbicara dan mengajak temannya untuk mau membantu.
Pada kasus Ida, misalnya. Ida bisa meminta teman atau sahabat Dea untuk meyakinkannya agar mau bermain dan tidak merasa takut untuk bermain dengan monkey bar. Ida, teman Dea misalnya, bisa mengatakan hal seperti "ayo, tidak perlu takut. Aku dulu juga takut, tetapi ketika aku naik ke atas, aku bisa melihat seluruh sekolah kita dari sini. Aku akan memegangi kamu." Sementara untuk kasus Putri, ia bisa saja meminta tolong teman dekat Andi untuk secara intens mengajak ngobrol Andi, sebelum Putri sendiri melakukan pendekatan.

Sahabat jugalah yang menjadi kekuatan maha dahsyat bagi kesuksesan Ikal, dalam trilogi Laskar Pelangi. Tanpa dukungan Arai yang cerdas dan kreatif, Ikal mungkin tidak memiliki mimpi. Namun, tanpa Ikal, Arai barangkali juga tidak memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tengok pula bagaimana Raden bisa meyakinkan Guntur bisa menjadi juara dunia dalam film "King".
Sahabat, dengan cintanya yang ikhlas, bisa menjadi kekuatan bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Sahabat, bisa menjadi kekuatan yang maha dahsyat. Sahabat, tidak pernah membiarkanmu jatuh. Sahabat, adalah scaffolding.
Lalu, dimanakah peran guru? Menurut Vygotsky, guru amat berperan dalam memantau setiap perkembangan kognitif dan sosial murid-muridnya. Guru lah yang harus peka melihat siapa membutuhkan siapa, siapa membutuhkan apa dalam pembelajaran sehari-hari. Guru, haruslah memahami kondisi dan latar belakang setiap siswanya agar dapat mengerti cara siswa belajar dan seberapa besar kemampuannya dalam menangkap pelajaran. Guru pulalah yang pertama kali harus menuntun muridnya yang sudah bisa mencapai suatu tingkatan konsep agar dapat membantu temannya untuk sama-sama mencapai konsep tersebut. Guru lah, yang menuntun kedua untuk sukses bersama. Guru, tidak akan membiarkan satu muridnya tertinggal di belakang seorang diri...

Sumber: http://www.igi.or.id/3-view.php?subaction=showfull&id=1272249285&archive&start_from&ucat=34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar