Lev Vygostsky lahir di Rusia pada tahun 1896. Ia
terlahir dari keluarga menengah di Rusia yang mendorongnya untuk belajar.
Setelah lulus kuliah, Lev kemudian mengajar literatur di sebuah sekolah SMP.
Minatnya pada pendidikan membawanya untuk mengamati tingkah laku dan cara
belajar siswanya. Ia kemudian mendapati bahwa ada anak-anak yang harus dibantu
untuk mencapai suatu pengertian, ada anak-anak yang membutuhkan sedikit bantuan
untuk mencapai tujuan, dan ada anak-anak yang tidak memerlukan bantuan sama
sekali. Berdasarkan temuannya inilah Vygotsky kemudian mempelajari lebih dalam
tentang teori-teori pendidikan yang diungkapkan oleh Sigmud Freud, Jean Piaget
dan Maria Montessori. Dari ketiganya inilah Vygostky kemudian mendalami ilmu
psikologi, utamanya psikologi pendidikan.
Teorinya yang terkenal adalah tentang kognitif
sosial. Vygotsky memang percaya bahwa selain pengalaman pribadi dan kemampuan
kognitifyang ada pada tiap anak memang menjadi dasar utama bagi perkembangan
dan kemampuan dirinya kelak. Namun ia yakin pula, bahwa pengalaman sosialisasi,
dukungan orang-orang terdekat, memiliki persentase yang seimbang pula dengan
kemampuan kognitif dalam perkembangan belajar seorang anak. Bahkan, presentasi
kebutuhan akan kognisi sosial bisa lebih besar pada beberapa anak.
Vygotsky juga berpijak pada teori yang dikembangkan
oleh Maria Montessori tentang perkembangan kejiwaan dan perkembangan anak
berbeda satu dengan yang lainnya. Berdasarkan teori Montessori, Vygotsky
menyimpulkan bahwa masing-masing anak tidak memiliki kemampuan yang sama
terhadap suatu perspektif, sehingga peran guru adalah melihat anak mana yang
memiliki kemampuan menangkap lebih rendah dalam suatu konsep ketimbang anak
lainnya. Vygotsky mengungkapkan bahwa kemampuan menangkap suatu konsep lebih
lama dibanding yang lain tidak menunjukkan tingkat intelligensianya. Vygotsky
sering melihat bahwa berbagai inner factor dapat mempengaruhi tingkat kemampuan
anak, seperti pengalaman sosialnya di rumah, nilai-nilai yang ditanamkan oleh
orang tua dan lingkungannya. Anak juga belajar dari temannya. Dengan tingkat
penilaian yang berbeda, anak memiliki kemampuan menyaring informasi yang
berbeda-beda. Kemudian, secara normatif, anak akan dapat menilai siapa di
antara temannya yang memiliki kemampuan lebih dibanding dirinya dalam beberapa
hal.
Seperti Piaget, Vygotsky percaya bahwa kemampuan
belajar terbesar anak adalah lewat bermain. Pada usia yang lebih matang,
kemampuan belajar didapat melalui pengalaman, apa yang dilihat, didengar dan
dilakukannya. Melalui pengalaman, berdiskusi dengan teman, bercanda dan saling
percaya satu dengan yang lain akan menimbulkan kepekaan dalam berbahasa, dalam
mengerti tentang suatu konsep. Sering, dia antara sesama muridnya, Vygotsky
melihat ada kekuatan sari mengoreksi dan menyakinkan satu dengan yang lain.
Berdasarkan pengamatan-pengamatan inilah kemudian
timbul teori yang disebut dengan "Peer Coaching". Dalam Peer Coaching,
Vygotsky menilai bahwa apabila seorang anak mengalami kesulitan dalam belajar,
maka orang pertama yang akan ia temui adalah teman dekatnya, bukan gurunya,
atau orang tuanya. Hal ini lebih karena seorang anak akan mencari orang yang
sebaya lebih karena self-esteem nya, keakuannya.
Lebih jauh Vygotsky mengasumsikan bahwa ibarat
seorang tukang bangunan yang akan mencat bagian atas rumah, maka ia akan
membutuhkan scaffold, tangga untuk mencapai bagian rumah paling atas yang
hendak dicatnya. Demikian pula dengan seorang anak. Pada anak yang mengalami
kesulitan dalam memahami suatu konsep, maka ia akan memerlukan bantuan, bantuan
ini utamanya didapat dari teman sebayanya, dan kemudian gurunya. Terkadang,
dengan pengalaman yang beraneka ragam, sulit bagi anak mempercayai kata-kata
gurunya. Di sinilah peran teman, sahabat, sebagai pemandu baginya untuk naik ke
tingkat yang lebih tinggi lagi. Peran guru adalah, berbicara dan mengajak
temannya untuk mau membantu.
Pada kasus Ida, misalnya. Ida bisa meminta teman
atau sahabat Dea untuk meyakinkannya agar mau bermain dan tidak merasa takut
untuk bermain dengan monkey bar. Ida, teman Dea misalnya, bisa mengatakan hal
seperti "ayo, tidak perlu takut. Aku dulu juga takut, tetapi ketika aku
naik ke atas, aku bisa melihat seluruh sekolah kita dari sini. Aku akan
memegangi kamu." Sementara untuk kasus Putri, ia bisa saja meminta tolong
teman dekat Andi untuk secara intens mengajak ngobrol Andi, sebelum Putri
sendiri melakukan pendekatan.
Sahabat jugalah yang menjadi kekuatan maha dahsyat
bagi kesuksesan Ikal, dalam trilogi Laskar Pelangi. Tanpa dukungan Arai yang
cerdas dan kreatif, Ikal mungkin tidak memiliki mimpi. Namun, tanpa Ikal, Arai
barangkali juga tidak memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tengok pula
bagaimana Raden bisa meyakinkan Guntur bisa menjadi juara dunia dalam film
"King".
Sahabat, dengan cintanya yang ikhlas, bisa menjadi
kekuatan bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Sahabat, bisa menjadi kekuatan
yang maha dahsyat. Sahabat, tidak pernah membiarkanmu jatuh. Sahabat, adalah
scaffolding.
Lalu, dimanakah peran guru? Menurut Vygotsky, guru
amat berperan dalam memantau setiap perkembangan kognitif dan sosial
murid-muridnya. Guru lah yang harus peka melihat siapa membutuhkan siapa, siapa
membutuhkan apa dalam pembelajaran sehari-hari. Guru, haruslah memahami kondisi
dan latar belakang setiap siswanya agar dapat mengerti cara siswa belajar dan
seberapa besar kemampuannya dalam menangkap pelajaran. Guru pulalah yang
pertama kali harus menuntun muridnya yang sudah bisa mencapai suatu tingkatan
konsep agar dapat membantu temannya untuk sama-sama mencapai konsep tersebut.
Guru lah, yang menuntun kedua untuk sukses bersama. Guru, tidak akan membiarkan
satu muridnya tertinggal di belakang seorang diri...
Sumber: http://www.igi.or.id/3-view.php?subaction=showfull&id=1272249285&archive&start_from&ucat=34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar